Situs Semedo

SEMEDO

Semedo, nama desa sekaligus perbukitan bergelombang. Terletak di bagian timur, tepatnya di Kecamatan Kedung Banteng (20 kilometer sebelah timur Kota Slawi), Kabupaten Tegal. Semula, Semedo desa biasa, seperti umumnya desa-desa lain di negeri ini. Namun kini, Semedo jadi desa luar biasa. Sejak tahun 2005, Semedo mencatatkan dirinya dalam sejarah evolusi manusia dunia. Pasalnya, serangkaian fosil dan binatang purba: gajah, babi, macan, dan ikan hiu purba. Mei tahun 2011, Semedo kembali mencatatkan sejarah. Di perbukitan itu ditemukan fosil manusia purba jenis homo erectus.Temuan ini tentu saja fantastis. Peneliti dari Museum Sangiran, Dr. Harry Widianto menyebut, fosil di Semedo telah memberikan data tentang evolusi manusia, budaya, dan lingkungan setidaknya sejak 1, 5 juta tahun yang lalu.

Bagi masyarakat Tegal, temuan ini tentu saja membanggakan. Selain bahasa dan kesenian tari topeng Tegal yang khas, kini mereka memiliki identitas budaya mendunia. Harapannya, jika Semedo dikelola dengan baik, tentu tak lama lagi para peneliti dari seluruh dunia akan berdatangan.

Perbukitan Itu

Perbukitan Semedo terhampar sepanjang lebih dari 2, 5 kilometer. Letaknya di sebelah barat daya Desa Semedo. Di sinilah ragam fosil itu ditemukan. Situs berada di area terbuka hutan pohon jati, antara desa dan bukit setinggi kurang lebih 148 meter di atas permukaan laut. Secara geografis, area hutan ini masuk dalam wilayah perhutani Pemalang.

Dalam bukunya, Nafas Sangiran Nafas Situs-situs Semedo (2011), arkeolog Harry Widianto dan peneliti Semedo menggambarkan bagaimana area ini terikat dalam rentang sejarah evolusi manusia Jawa yang panjang:

Terhadap fisiografi pulau Jawa, Semedo merupakan bagian paling barat dari jajaran pegunungan Serayu Utara, dan merupakan daerah batas dengan jajaran Bogor di Jawa Barat. Daerah ini terdorong ke atas oleh gerakan geosinklinal Pulau Jawa bagian utara, yang setelah melewati Kala Plestosen Bawah sekitar 1,8 juta tahun yang lalu, tertutup oleh endapan vulkanik. Terdapat kemungkinan bahwa-bersama Cijulang, Prupuk, Bumi Ayu, dan Ajibarang- daerah Semedo merupakan batas Pulau Jawa bagian timur pada akhir Kala Pliosen, ketika Jawa Tengah dan Jawa Barat masih berada di bawah laut pada sekitar 2,4 juta tahun yang lalu.

Gambaran di atas membuktikan, bahwa Semedo adalah ladang kehidupan bersejarah. Kini, Semedo terbuka luas bagi para peneliti dalam dan luar negeri untuk mengkaji lebih lanjut. Semedo kini siap menjadi laboratorium arkeologi dunia. Masih banyak misteri yang tersimpan di hamparan perbukitan Semedo.

Penemu Pelopor

Dunia harus berterima kasih kepada para pelopor penemu fosil Semedo. Mereka adalah Pak Dahkri, Duman, Sunardi, dan Ansori. Keempatnya adalah warga asli Semedo. Bermula di tahun 2005, mereka sering mencari kayu bakar di bukit Semedo. Suatu ketika mereka melihat sekerat tulang. Saat itu mereka tidak tahu itu tulang apa, tapi menurutnya berbeda dengan tulang biasa. Dalam fikiran mereka, tulang itu tidak biasa; besar dan berat.

Semakin hari, mereka menemukan banyak tulang. Tulang itu mereka bawa pulang, dan digeletakkan begitu saja di sekitar rumah mereka. Mereka sendiri tidak tahu tulang itu mau diapakan. Hati dan pikirannya hanya bertanya-tanya. Mereka hanya saling cerita dengan kekaguman dan kebingungan masing-masing. Sampai suatu ketika, kisah penemuan ini didengar oleh LSM Gerbang Mataram. Kisah itu pun dimediakan, lalu datanglah peneliti dari Museum Sangiran menguatkan, bahwa tulang-tulang itu adalah fosil-fosil binatang purba.

Mei tahun 2011, Pak Dakhri menemukan fosil manusia purba jenis Homo Erectus di aliran sungai Kawi, Semedo. Fosil berupa kepingan bagian tengkorak kepala, seperti tulang tengkorak bagian belakang, letak tengkorak di belakang dahi dan tulang pertautannya. Tulang berbentuk cekungan, tempat melekatnya otak belakang. Fosil tersebut diperkirakan sisa peninggalan Kala Pleistosen Tengah (700 ribu tahun yang lalu).

Penemuan ini tentu semakin menguatkan, bahwa di Semedo tidak hanya ditinggali binatang purba, tapi hidup juga manusia purba. Bukit itu pun menjadi bukit kesaksian akan adanya leluhur manusia pada zaman dahulu. Temuan ini dapat menjadi ladang pembuktian ilmiah, bahwa kebudayaan leluhur manusia purba zaman itu sudah sangat tinggi, untuk itu perlu dikoleksi agar dapat dipelajari generasi mendatang.

Museum Semedo

Keberadaan museum Semedo adalah masih sebuah mimpi. Suatu saat, mimpi itu akan jadi nyata. Mimpi adanya sebuah museum Semedo adalah sebuah keniscayaan. Jika fosil-fosil itu ingin diteliti, dipelajari, ditonton, dipamerkan, dan fahami maknanya, di mana masyarakat bisa memperoleh? Tentu saja di museum, bukan!

Sekarang fosil-fosil yang ditemukan di Semedo sudah semakin menumpuk. Fosil-fosil dipajang di rumah Pak Dakri yang sempit dan kurang memadai. Guna menyiasati masyarakat dan peneliti yang ingin mengetahui fosil-fosil, rumah Pak Dahri sementara dijadikan pusat informasi. Di rumah yang sangat sederhana itu, terdapat tiga etalase kaca berukuran sedang untuk memajang fosil-fosil yang ditemukan.

Sementara tulang-tulang binatang purba yang berukuran besar, hanya digeletakkan begitu saja di teras rumah. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena tulang bisa kotor dan kurang terawat.

Mengingat pentingnya situs Semedo bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal dan beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tegal beberapa waktu sebelumnya telah melakukan studi banding ke situs purbakala Sangiran untuk melihat bagaimana penanganan dan pengelolaan situs purbakala. Hasil studi banding tersebut adalah tekad Pemerintah Daerah Kabupaten Tegal untuk mengelola situs Semedo dengan baik dan akan membuat museum Semedo.

Semoga mimpi memiliki museum ini menjadi kenyataan.

Penulis : Yusuf Efendi, Pamong Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal kebudayaan di Kabupaten Tegal