Slawi,Tegalbahari-com-Jangan mengaku orang asli Tegal bila tidak suka minum teh. Bagi masyarakat pesisir utara Jawa Tengah ini, teh menjadi bagian hidup sehari-hari. Tradisi ini berakar sejak ratusan tahun lalu.
Begitu melekatnya teh dalam kehidupan masyarakat Tegal sampai ada istilah ”moci bae, kayak wong tuwa” dalam bahasa percakapan sehari-hari orang Tegal. Istilah dalam konteks olok-olok ini biasa dilontarkan anak muda kepada teman seusianya yang gemar minum teh seduhan dalam poci. Namun, bisa juga untuk menyindir seseorang yang gemar mengobrol tanpa henti.
Moci adalah kebiasaan orang Tegal yang suka minum teh seduh dalam poci gerabah. Sebelum diminum, teh panas yang warnanya pekat itu dituang lebih dulu ke dalam cangkir-cangkir kecil berisi gula batu. Kombinasi teh pekat dengan manisnya gula batu ini yang membuat teh Tegal populer dengan nama ”nasgitel”, kependekan dari panas, legi (manis), dan kenthel (pekat) atau ”wasgitel”, yang artinya wangi, panas, legi, kenthel.
Kebiasaan moci orang Tegal bisa dilihat di warung-warung makan, tempat lesehan pinggir jalan, hingga rumah makan yang cukup besar di seluruh Kota Tegal. Di sepanjang jalan protokol Kota Tegal, seperti Jalan Ahmad Yani, Jalan Diponegoro, Jalan DI Panjaitan, dan Jalan Cokroaminoto, tenda-tenda lesehan yang menyediakan teh poci buka hingga pukul 02.30.
Di bagian lain, di Jalan Kapten Sudibyo, sebuah rumah makan besar yang menjual sate kambing baru tutup sekitar pukul 24.00. Bagi orang Tegal, sate kambing merupakan salah satu ”teman” paling pas untuk moci. ”Di Tegal, makanan apa saja cocok untuk teman minum teh. Tidak ada pakemnya,” ujar Yono Daryono, budayawan Tegal. Di kota itu, selain teh, juga banyak ditemukan warung sate kambing.
Biasanya orang baru moci bila ada teman untuk diajak minum teh. Pada saat moci itulah obrolan bisa mengalir hingga menjelang dini hari. ”Ada yang baru pergi setelah warung mau tutup,” kata Dani (24), pemilik tenda lesehan Ropang di Jalan Ahmad Yani, Tegal.
Meski harga satu set teh poci dengan dua cangkir cukup murah, yaitu Rp 6.000, selalu saja ada pembeli yang ”nakal” ingin mencari gratisan. Rifai (48), pemilik Lesehan Ponggol Ibu Ranti Mejabung di Jalan Arjuna, pernah mendapati seorang pembeli tak juga beranjak pergi meski sudah lebih dari tiga jam moci di warungnya.
Setelah ditelisik, ternyata pembeli tadi membawa teh dan gula batu sendiri dari rumah. ”Saya melihat sendiri mereka mengeluarkan teh dan gula batu dari kantong baju,” kata Rifai yang sejak saat itu kapok menyajikan teh dalam poci.
Membentuk selera
Tegal, kota yang posisi geografisnya di dataran rendah, sebenarnya tidak memiliki perkebunan teh. Namun, tradisi minum teh di daerah ini sangat kental dibandingkan dengan di kota lain yang juga berada di pesisir utara Jawa Tengah.
Antropolog dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Pande Made Kutanegara, mengatakan, jauh sebelum tanaman teh datang ke Indonesia sekitar abad ke-17, Tegal sudah memiliki budaya minum teh yang berakar dari China.
Pada masa lalu, daerah pantai utara Jawa Tengah, termasuk Tegal, merupakan jalur perdagangan yang ramai karena Tegal memiliki pelabuhan besar. Sebelum ada tanaman teh di Indonesia, teh yang dikonsumsi di Tegal didatangkan langsung dari China.
Belanda yang membawa masuk tanaman teh ke Indonesia kemudian menetapkan sistem tanam paksa dan salah satu komoditasnya adalah teh. Produk teh yang berkualitas sebagian besar diekspor ke Belanda dan Eropa, sementara teh sisa yang mutunya rendah diambil oleh para pekerja pribumi.
”Kondisi itu membentuk selera konsumsi orang Tegal terhadap teh. Sampai sekarang mereka terbiasa minum teh yang sepet dan pekat,” kata Pande, yang pernah melakukan penelitian tentang teh. Rasa sepet itu, menurut Pande, berasal dari batang teh yang ikut digiling bersama daun teh sehingga menghasilkan teh berkualitas rendah. Dalam perkembangannya, teh di Tegal kemudian diolah dengan aroma bunga melati agar lebih enak dinikmati.
Sejarah boleh membentuk selera. Yang jelas, selera terhadap cita rasa teh yang agak sepet itu justru membuka peluang bagi pengusaha untuk membuka pabrik teh di Tegal. Sekarang ini di Tegal ada empat pabrik teh besar yang menguasai pasar dalam negeri, yaitu teh 2 Tang, Teh Poci, Teh Tong Tji, dan Teh Gopek. Keempat pabrik teh itu berdiri hampir bersamaan, yaitu sekitar tahun 1940-an.
Kehadiran empat pabrik teh di Tegal, menurut Eko Handoko (34), generasi ketiga pemilik teh 2 Tang, karena posisi Tegal dekat dengan Pekalongan yang menjadi daerah perkebunan melati. Sebagian besar teh yang diproses di Tegal adalah teh beraroma bunga melati. Di wilayah Tegal sendiri sekarang sudah ada perkebunan bunga melati yang dikelola oleh masyarakat, yaitu di Desa Suradadi dan Sidoharjo.
Citra Tegal sebagai kota teh dimanfaatkan oleh keempat pabrik teh tersebut untuk berebut memasang logo pabrik mereka di setiap rumah makan. Sepanjang pengamatan, tidak ada warung makan yang tidak memasang logo teh 2 Tang, Teh Poci, Teh Tong Tji, atau Teh Gopek di warungnya.
Bagi orang Tegal, teh bukan sekadar bahan baku untuk membuat minuman, melainkan juga memiliki fungsi lain, salah satunya adalah sebagai cendera mata. Ketika seseorang menggelar hajatan, bubuk teh dalam kemasan kecil, yaitu sebesar kotak korek api, dibagikan kepada tamu sebagai kenang-kenangan. Itulah bentuk cinta orang Tegal terhadap teh.
citizen jaurnalist
Begitu melekatnya teh dalam kehidupan masyarakat Tegal sampai ada istilah ”moci bae, kayak wong tuwa” dalam bahasa percakapan sehari-hari orang Tegal. Istilah dalam konteks olok-olok ini biasa dilontarkan anak muda kepada teman seusianya yang gemar minum teh seduhan dalam poci. Namun, bisa juga untuk menyindir seseorang yang gemar mengobrol tanpa henti.
Moci adalah kebiasaan orang Tegal yang suka minum teh seduh dalam poci gerabah. Sebelum diminum, teh panas yang warnanya pekat itu dituang lebih dulu ke dalam cangkir-cangkir kecil berisi gula batu. Kombinasi teh pekat dengan manisnya gula batu ini yang membuat teh Tegal populer dengan nama ”nasgitel”, kependekan dari panas, legi (manis), dan kenthel (pekat) atau ”wasgitel”, yang artinya wangi, panas, legi, kenthel.
Kebiasaan moci orang Tegal bisa dilihat di warung-warung makan, tempat lesehan pinggir jalan, hingga rumah makan yang cukup besar di seluruh Kota Tegal. Di sepanjang jalan protokol Kota Tegal, seperti Jalan Ahmad Yani, Jalan Diponegoro, Jalan DI Panjaitan, dan Jalan Cokroaminoto, tenda-tenda lesehan yang menyediakan teh poci buka hingga pukul 02.30.
Di bagian lain, di Jalan Kapten Sudibyo, sebuah rumah makan besar yang menjual sate kambing baru tutup sekitar pukul 24.00. Bagi orang Tegal, sate kambing merupakan salah satu ”teman” paling pas untuk moci. ”Di Tegal, makanan apa saja cocok untuk teman minum teh. Tidak ada pakemnya,” ujar Yono Daryono, budayawan Tegal. Di kota itu, selain teh, juga banyak ditemukan warung sate kambing.
Biasanya orang baru moci bila ada teman untuk diajak minum teh. Pada saat moci itulah obrolan bisa mengalir hingga menjelang dini hari. ”Ada yang baru pergi setelah warung mau tutup,” kata Dani (24), pemilik tenda lesehan Ropang di Jalan Ahmad Yani, Tegal.
Meski harga satu set teh poci dengan dua cangkir cukup murah, yaitu Rp 6.000, selalu saja ada pembeli yang ”nakal” ingin mencari gratisan. Rifai (48), pemilik Lesehan Ponggol Ibu Ranti Mejabung di Jalan Arjuna, pernah mendapati seorang pembeli tak juga beranjak pergi meski sudah lebih dari tiga jam moci di warungnya.
Setelah ditelisik, ternyata pembeli tadi membawa teh dan gula batu sendiri dari rumah. ”Saya melihat sendiri mereka mengeluarkan teh dan gula batu dari kantong baju,” kata Rifai yang sejak saat itu kapok menyajikan teh dalam poci.
Membentuk selera
Tegal, kota yang posisi geografisnya di dataran rendah, sebenarnya tidak memiliki perkebunan teh. Namun, tradisi minum teh di daerah ini sangat kental dibandingkan dengan di kota lain yang juga berada di pesisir utara Jawa Tengah.
Antropolog dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Pande Made Kutanegara, mengatakan, jauh sebelum tanaman teh datang ke Indonesia sekitar abad ke-17, Tegal sudah memiliki budaya minum teh yang berakar dari China.
Pada masa lalu, daerah pantai utara Jawa Tengah, termasuk Tegal, merupakan jalur perdagangan yang ramai karena Tegal memiliki pelabuhan besar. Sebelum ada tanaman teh di Indonesia, teh yang dikonsumsi di Tegal didatangkan langsung dari China.
Belanda yang membawa masuk tanaman teh ke Indonesia kemudian menetapkan sistem tanam paksa dan salah satu komoditasnya adalah teh. Produk teh yang berkualitas sebagian besar diekspor ke Belanda dan Eropa, sementara teh sisa yang mutunya rendah diambil oleh para pekerja pribumi.
”Kondisi itu membentuk selera konsumsi orang Tegal terhadap teh. Sampai sekarang mereka terbiasa minum teh yang sepet dan pekat,” kata Pande, yang pernah melakukan penelitian tentang teh. Rasa sepet itu, menurut Pande, berasal dari batang teh yang ikut digiling bersama daun teh sehingga menghasilkan teh berkualitas rendah. Dalam perkembangannya, teh di Tegal kemudian diolah dengan aroma bunga melati agar lebih enak dinikmati.
Sejarah boleh membentuk selera. Yang jelas, selera terhadap cita rasa teh yang agak sepet itu justru membuka peluang bagi pengusaha untuk membuka pabrik teh di Tegal. Sekarang ini di Tegal ada empat pabrik teh besar yang menguasai pasar dalam negeri, yaitu teh 2 Tang, Teh Poci, Teh Tong Tji, dan Teh Gopek. Keempat pabrik teh itu berdiri hampir bersamaan, yaitu sekitar tahun 1940-an.
Kehadiran empat pabrik teh di Tegal, menurut Eko Handoko (34), generasi ketiga pemilik teh 2 Tang, karena posisi Tegal dekat dengan Pekalongan yang menjadi daerah perkebunan melati. Sebagian besar teh yang diproses di Tegal adalah teh beraroma bunga melati. Di wilayah Tegal sendiri sekarang sudah ada perkebunan bunga melati yang dikelola oleh masyarakat, yaitu di Desa Suradadi dan Sidoharjo.
Citra Tegal sebagai kota teh dimanfaatkan oleh keempat pabrik teh tersebut untuk berebut memasang logo pabrik mereka di setiap rumah makan. Sepanjang pengamatan, tidak ada warung makan yang tidak memasang logo teh 2 Tang, Teh Poci, Teh Tong Tji, atau Teh Gopek di warungnya.
Bagi orang Tegal, teh bukan sekadar bahan baku untuk membuat minuman, melainkan juga memiliki fungsi lain, salah satunya adalah sebagai cendera mata. Ketika seseorang menggelar hajatan, bubuk teh dalam kemasan kecil, yaitu sebesar kotak korek api, dibagikan kepada tamu sebagai kenang-kenangan. Itulah bentuk cinta orang Tegal terhadap teh.
citizen jaurnalist