Sate Batibul, Tidak Prengus & Lebih Empuk

TAK perlulah menunggu lebih dari setahun untuk bisa menikmati sate kambing. Kambing belia ternyata sudah cukup untuk menghadirkan menu lezat.

Sate kambing ditawarkan di banyak sudut Kota Jakarta. Namun, sate kambing muda rasanya masih cukup jarang. Batibul Laka-Laka, menu andalan yang kemudian juga menjadi nama restoran, menghadirkannya untuk para penikmat olahan daging kambing.

Sebelum mengungkap kelezatan menu ini, satu hal yang bikin penasaran adalah nama menu ini. Batibul ternyata merupakan singkatan “bawah tiga bulan” sedangkan laka-laka berasal dari bahasa Tegal yang berarti “langka atau jarang”. Ya, Batibul Laka-Laka adalah sate kambing muda, tepatnya berusia di bawah tiga tahun yang berasal dari Tegal.

Mengapa usia kambing berusia di bawah tiga bulan yang dipilih? “Dagingnya empuk, lebih manis, renyah, dan enggak bau prengus, beda sama daging kambing yang usianya lebih tua, yang alot dan prengus-nya kecium banget,” kata Agus Sulaeman, pengelola Batibul Laka-Laka, kepada Okezone ketika ditemui di acara Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF) 2012, La Piazza, Kelapa Gading, Jakarta, baru-baru ini.

Satu tusuk sate Batibul Laka-Laka diisi oleh tiga potong daging, terselip pula lemak di tengahnya. Selama proses pembakaran, sate diolesi minyak dan satu bumbu yang dirahasiakan Agus. Tujuannya, agar sate cepat matang sedangkan minyak berfungsi mencegah sate mudah gosong serta menambah aroma sedap. Dan karena daging cenderung empuk, proses pembakaran hanya butuh waktu sekira lima menit.

Ketika tiba waktu mencicipi menu ini, ternyata benar, dagingnya lebih empuk, lebih mirip daging ayam, tidak pula ada bau prengus. Sebagai pelengkap, pilihannya adalah lontong atau nasi, juga acar bawang merah, bawang goreng, tomat, dan sambal. Sementara untuk siraman sate, Anda bisa memilih antara saus kacang atau sambal kecap.

Dikatakan Agus, kambing muda yang digunakan Batibul Laka-Laka sengaja didatangkan dari Tegal, daerah yang menurutnya merupakan penghasil daging kambing terbaik. “Di sini (Jakarta-red) susah carinya, tapi juga karena faktor kepercayaan dengan yang punya peternakan di Tegal,” ujar Agus.

Batibul Laka-Laka pertama berdiri pada 2008, bukan di Tegal melainkan Sunter, Jakarta Utara. Selama ajang JFFF 2012, Agus mengakui bahwa pihaknya dalam sehari mampu menjual 50 kodi (1 kodi terdiri dari 20 tusuk) pada hari biasa yang buka mulai pukul 15.00 WIB hingga 22.00 WIB. Sementara pada hari akhir pekan, yang buka mulai pukul 10.00 WIB hingga 00.00 WIB, menu sate Batibul Laka-Laka bisa terjual hingga 115 kodi. Harga satu porsinya adalah Rp25 ribu untuk enam tusuk termasuk nasi atau lontong dan Rp35 ribu untuk 10 tusuk belum termasuk nasi atau lontong.

Selain sate kambing muda, di luar ajang JFFF, Batibul Laka-Laka juga menawarkan menu sop kambing batibul, gulai kambing batibul, tongseng kambing, tongseng ayam, sate campur ati, sate ati polos, sate ayam, nasi goreng ayam, dan nasi goreng kambing. (ftr)